PERBEDAAN
DAN PERSAMAAN MANUSIA SECARA BUDAYA
Oleh
JERIZAL PETRUS
A.
Pendahuluan
Menarik sekali ketika berbicara tentang
manusia. Menarik karena manusia memiliki keunikan tersendiri, yaitu karena
manusia sendirilah yang akan menjadi subjek sekaligus objek. Di lain pihak
berbicara tentang manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks untuk diteliti
dan dipelajari. Oleh karena itu, Jalaluddin dan Abdullah (2009: 131)
menjelaskan bahwa dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran
yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya
sendiri. Meskipun tingkatan pemikiran itu selalu mempunyai perbedaan. Hal itu
didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek pendidikan, manusia juga
adalah objek pendidikan itu sendiri.
Keragaman masyarakat dan budaya
Indonesia merupakan sebuah potensi kekayaan yang harus dioptimalkan sehingga
terasa manfaatnya. Dalam konteks itu pula manusia dalam budaya dianggap berbeda
atau lebih dengan identitas kelompoknya sering kali menjadi sarana kecurigaan
yang sosok yang harus diwaspadai, dan bahkan tiidak jarang semangat itu
memuncak dalam bentuk konsflik seperti dalam kasus penduduk lokal dengan mereka
yang dipersiapkan sebagai pendatang. Secara umum dan alamiah, suku-suku bangsa
khususnya di Indonesia memiliki batas-batas daerah kebudayaan yang tegas dengan
berpatokan pada alam seperti dibatasi oleh sungai, gunung, dan hutan. Manusia dalam budaya perbatasan merupakan
masyarakat yang secara administratif tinggal dan bersinggungan antara satu atau
lebih daerah lain. Dalam kajian antropologi, masyarakat perbatasan dapat diartikan
sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua
atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan
terjadinya interaksi antara budaya yang berbeda. Dalam situasi seperti itulah
konseling lintas budaya memainkan peran penting untuk memfasilitasi
perbedaan-perbedaan yang ada dalam seting konseling.
Dalam konseling salah satu isu yang tak
kalah pentingnya dibicarakan adalah isu tentang konseling lintas budaya. Hal
ini penting dibicarakan karena dalam setiap proses konseling disadari bahwa
disitu telah terjadi perjumpaan antara budaya (cultural encounter) antara konselor dan klien. Dalam pada itu,
konselor diharapkan memiliki kepekaan budaya, sehingga tidak terjadi bias-bias
budaya dalam konseling. Oleh karena itu konselor harus memiliki kemampuan
komunikasi responsif secara kultural. Dalam kerangka itu, maka konselor yang
profesional adalah konselor yang tidak pernah ketinggal dan selalu meng—update akan isu-isu yang berkaitan
dengan perkembangan budaya yang ada di Indonesia.
Pemahaman akan karakteristik manusia
dan budayanya masig-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang harus
dipahami secara komprehensif oleh konselor dalam memberikan layanan konseling.
Berkenaan dengan hal tersebut maka makalah ini akan menyajikan
penjelasan-penjelasan yang singkat dan sederhana mengenai perbedaan dan
persamaan manusia dalam budaya serta implikasinya dalam konseling.
B.
Hakekat
Manusia
Manusia
dalam dunia ini memegang peranan yang unik, dan dapat dipandang dari banyak
segi. Sebelum lebih jauh melihat perbedaan dan persamaan manusia secara budaya
terlebih dahulu kita memeriksa beberapa pandangan para ahli mengenai hakekat
manusia. Prayitno (2009: 10-12), secara sistematis mengemukakan beberapa
pandangan tentang manusia dengan merujuk dari pandangan-pandangan para ahli
berikut mulai dari pandangan yang pali lama sampai pada pandangan yang paling
baru:
1. Plato.
Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada
dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
2.
Hsun Tsu.
Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk mengembangkannnya
sdiperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin kepada tubuhnya.
3.
Agustinus.
Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimlotivasi oleh prinsip
kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
4. Descrates.
Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat
bendawi, abadi dan tidak dapat mati, sedangkan badan bersifat bendawi dapat
sirna dan menjadi sasaran filsafat fisika. Di antara bandan dan jiwa terdapat
pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani; badan dan jiwa itu
masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal sendiri-sendiri. Namun
demikian, manusia adalah jiwanya.
Sedangkan pandangan yang lebih baru
tentang manusia, antara lain dikemukakan oleh pemikir-pemikir sebagai berikut:
1. Freud.
Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan insting-instiinya, dan dikendalikan oleh
pengalaman-pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh factor-faktor
interpersonal dan intrapsikis.
2.
Adler.
Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya, tetapi
juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab social dan pemenuhan
kebutuhan dalam mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh
lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
3.
Rogers.
Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentuka
nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu
mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individuyang positif dan
konstruktif.
4.
Skinner.
Manusia adalah makhluk rektif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factor-faktor
di luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi
dengan lingkungannya, melalui huum-hukum belajar.
5.
Glasser.
Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik psikologikal
maupun fisiiologikal), yang sama untuk semua orang. Kebutuhan fisologikal
adalah segala sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organism, sedangkan
kebutuhan psikologgikal terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna
bagi diri sendiri dan orang lain.
6.
Ellis.
Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak
rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan
satu sama lain: pikiran seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya
7. Sartre.
Manusia dipandang sebagai no yang
me-nol-kan diri, pour soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melinkan
subjek, dan secara kodrati dirinya itu adalah bebas.
Terkait dengan manusia seutuhnya,
Prayitno dan Erman Amti (2004: 21) dengan merujuk dari para pemikir Barat,
khusunya dalam bidang psiko-humanistik, seperti
Frankl, Jung, Maslow dan Rogers telah pula mengajukan berbagai rumusan sejalan
dengan konsep manusia seutuhnya. Mereka memakai istilah (berfungsi unsur-unsur
kemanusiaan secar ideal) sebagai perwujudan manusia seutuhnya. Ciri-ciri yang
dapat berfungsi secara ideal itu adalah:
Menurut
Frankl:
1. Mencapai
penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan
2. Bebas
memilih dan bertindak
3. Bertanggung
jawab secara pribadi terhadap segala tindakan
4. Melibatkan
diri dalam kehidupan bersama orang lain
Menurut Jung:
1. Memiliki
pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri
2.
Menerima diri sendiri, termasuk kekuatan
dan kelemahannya
3.
Menerima dan bersikap toleran terhadap
hakikat dan keberadaan kemanusiaan secara umum
4. Menerima
hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, serta bersedia
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional tanpa meninggalkan
cara-cara berpikir logis.
Menurut
Maslow:
Manusia yang berfungsi secara ideal
ialah mereka yang mengembangkan seluruh kemsmpuan dan potensinya. Lebih jauh,
Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil
mewujudkan diri sendiri secara penuh.
Dari pandangan-pandanagn terhadap
manusia seperti yang telah dijelaskan di atas, secara sederhana hakikat
manusia dapat dijelaskan sebagai berikut
(Depdiknas. 2004: 9-11);
1. Manusia sebagai makhluk individu,
bahwa mansuia sebagai makhluk individu yang mempunyai ciri-ciri atau kekhasan
tersendiri. Oleh karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk yang unik.
2.
Manusia
sebagai makhluk social, bahwa manusia sebagai makhluk
social mempunyai sifat sosialoitas yang menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan
manusia yang sewajarnya.
3.
Manusia
sebagai makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan totalitas
jasmani dan rohani. Setiap bagian tubuh dan kegiatan prganisme yang biologis
sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga sebaliknya.
4.
Manusia
sebagai makhluk monodualis, bahwa manusia sebagai makhluk
monodualis tidak dapat memisahkan antara jiwa dan raga sebagai satu kesatuan
dalam perkembangannya.
5.
Manusia
sebagai makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada
intinya mengambil keputusan susila dan mampu membedakan hal-hal yang baik dan
buruk. Selain itu juga mampu membedakan hal yang benar dan yang salah untuk
kemudian mengarahkan hidupnya ke tujuan-tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan
dan keputusan hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.
6.
Manusia
sebagai makhluk religious, bahwa manusia sebagai makhluk
religious mengndung kemungkinan baik dan jahat, sesuai dengan pandangan manusia
itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Manusia mempunyai nafsu-nafsu baik maupun
jahat.
7.
Manusia
sebagai makhluk berpikir/filosofis, bahwa manusia itu
mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berpikir agar menjadi berbudi.
8. Manusia sebagai makhluk
berketerampilan, bahwa manusia sudah mempunyai bakat
dan minat masing-masing dalam mengembangkan keterampilannya.
C.
Pengertian
Budaya
Meskipun kebanyakan dari kita merasa
tahu artinya, namun budaya adalah sebuah konsep yang cukup sulit didefinisikan
secara formal. Para peneliti seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, Geert
Hofstede dan yang lainnya telah menawarkan beberapa definisi yang menarik
tentang budaya. Untuk keperluan kita, kami mendefinisikan budaya sebagai
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama sekelompok
orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat
bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain (Matsumoto, 2008: 5).
Menurut
Kneller dalam Rosijdan (2005) menjelaskan bahwa kata budaya sendiri bermakna
semua cara-cara hidup yang dilakukan orang dalam suatu masyarakat. Dalam budaya
tertentu dimaksudkan keseluruhan cara hidup bersama dari sekelompok orang, yang
meliputi bentuk mereka berpikir, berbuat dan merasakan yang diekspresikan,
misalnya dalam kepercayaan, hukum, bahasa, seni, adat istiadat, juga dalam
bentuk produk-produk benda seperti rumah, pakaian, dan alat-alat. Definisi yang
di sampaikan itu sejalan dengan apa yang diartikan dalam kamus besar basaha
Indonesia bahwa kata budaya menunjuk pada pikiran; akal budi; hasil; adat
istiadat; dan bahasa.
Pengertian budaya yang dijelaskan di
atas senada dengan apa yang disamapaikan oleh Mulyana (2006:18) bahwa budaya
berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir , merasa, mempercayai dan
mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan
makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi
dan politik, dan teknologi, semua itu di dasarkan pada pola-pola budaya.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan
minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan,
hubungan, dan sebagainya. Budaya menampakan dirinya dalam pola-pola bahasa dan
dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model
bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan
orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis
tertentu dan pada suatu saat tertentu.
Selain itu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi
yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Budaya juga berkenaan
dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi
kehidupan kita. Oleh karena itu, budaya kita secara pasti mempengaruhi kita
sejak dalam kandungan hingga mati—dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan
dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Dari
penjelasan-penjelasan tentang budaya di atas maka , dapat disimpulkan bahwa
budaya
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Definisi
budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli
berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya
sebagai berikut:
E.B.
Taylor berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari
manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan
Linton mengartikan budaya dengan:
Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan
yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Adapun
Kluckhohn dan Kelly berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang
eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu,
sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia
Lain
halnya dengan Koentjaraningrat yang mengatikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar.
Berdasarkan
definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal
terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan
manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan
belajar.
Dari kerangka tersebut diatas tampak
jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana
budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia
pendidikan.
Selain
itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu : 1) wujud pikiran, gagasan, ide-ide,
norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat
abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat
kebudayaan itu hidup; 2) aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem
sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi,
berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu
mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini
bersifat nyata atau konkret; dan 3) wujud fisik, merupakan seluruh total
hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.
D.
Manusia
sebagai makhluk berbudaya
Dalam
hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living
organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan
bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu
lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal
(geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia
merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis,
menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana
timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense)
untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup.
Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu
bersumber dari lingkungan.
Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap
manusia itu sendiri, hal ini dapat dilihat pada gambar siklus hubungan manusia
dengan lingkungan sebagai berikut:
Berdasarkan definisi para ahli tentang budaya sebagaimana
tersebutkan sebelumnya dan gambaran tentang manusia di atas, maka dapat dinyatakan bahwa unsur belajar
merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Dengan
demikian manusia itu dibentuk dalam budaya dan lingkungannya masing-masing. Untuk menjadi manusia yang
berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan
industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu
kesinambungan yang saling bersinergi, sebagaimana dilukiskan dalam bagan
berikut:
E.
Perbedaan
dan Persamaan Manusia secara Budaya
Isu-isu
tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam
dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade
1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali
sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S.,
1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk
kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun
profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang
dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan
kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam
konseling lintas budaya sebagian pihak menganggap bahwa tidak penting,
alasannya bahwa yang lebih penting adalah situasi konseling. Dengan demikian
dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi perhatian utama adalah individu,
bukan budanya; dan oleh karena itu konselor tidak berurusan dengan budaya
klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien. Hal ini
disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi
teori-teori dan prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas
kultur. Pandangan itu tidak terlalu diterima karena mengabaikan kuatnya
faktor-faktor budaya yang membentuk perilaku klien. Pandangan ini sangat
berbahaya bagi proses konseling, karena akan melahirkan konselor yang tidak
peka-budaya (culturally insentive
counselor), tidak empatik, dan sangat mungkin untuk memaksakan nilai-nilai
budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya. Pandangan ini terlalu menekankan
segi etic dalam konseling dan
mengabaikan amic.
Namun perlu diingat bahwa pada sisi
lain ada yang terlalu percaya pada keunikan klien dan budayanya yang berbeda
satu sama lain, sehingga mengabaikan adanya kesamaan (commonalities) di antara klien. Mereka terlalu menempatkan terlalu
menempatkan keunikan budaya sebagai titik tolak dan lupa bahwa dalam hal-hal
tetrtentu sebagai manusia, ada pola-pola perilaku yang share oleh setiap individu dan memiliki “high degree of cross-cultural constancy”, yakni tingkat ketetapan
yang tinggi pada konteks sosial budaya yang berbeda. Pandangan ini pun
mengnadung kelemahan, karena terlalu menekankan segi emic dan mengabaikan segi
etic dalam konseling.
Konseling lintas-budaya yang
sesungguhnya dan perlu mendasari kerja konselor bergerak di antara titik-titik
ekstrem berikut: antara perspektif etic dan
emic, antara prinsip-prinsip yang
berlaku secara universal untuk semua manusia (humanly universal) dengan yang unik budaya (culturally unique), antara tuntunan untuk penyesuaian secara
autoplastik dengan alloplastik. Titik-titik ini tidak bersifat saling
mengecualikan (mutually exclusive), melainkan
merupakan kontinum. Dalam situasi tertentu klien dari latar belakang budaya
tertentu, mungkin keunikan budaya sangat menonjol; sedangkan pada yang lain
sebaliknya. Pada saat konselor menghadapi klien dari satu kelompok minoritas
yang hidup di tengah kelompok mayoritas, maka penyesuaian autoplatik yang
ditekankan; sedangkan bila ia berada dalam komunitasnya sendiri dan mempunyai
peran-peran sosial tertentu, maka penyesuian alloplastik yang didorong. Intinya
adalah perlunya keseimbangan dengan memperhatikan konteksnya.
Keseimbangan perspektif tersebut
pada akhirnya akan bermuara pada prinsip dasar tentang adanya kesamaan dan
perbedaan antar-individu sebagaimana dengan indah dilukiskan oleh dua
antropolog, Kluckohn dan Murray, sebagai berikut; every person in different ways is; like all other persons, like some other
persons, like no other persons.
Pengertian like all other menunjuk pada apa yang berlaku untuk semua manusia
secara universal; misalnya dorongan untuk aktualisasi diri. Like some other adalah apa yang dimiliki
oleh sebagaian manusia atau budaya dan tidak dimiliki oleh yang lain; misalnya
keyakinan yang di share oleh
komunitas tertentu. Like no other adalah
ciri-ciri yang sangat unik pada setiap individu—ekstremnya, tidak ada dua
individu yang sepenuhnya sama dalam segala hal, bahkan kembar identik
sekalipun.
Dari sudut pandang antropolis, kesamaan
dan perbedaan sama pentingnya bagi kehidupan manusia. Tanpa ada kesamaan, tidak
mungkin ada keteraturan dalam kehidupan manusia. Kesamaan itu sendiri merupakan
keniscayaan. To be a species suggets that
there are taits that we all share.
F.
Implikasi
dalam Konseling Lintas Budaya
Dalam
pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perlu diperhatikan
komponen-komponen perbedaan budaya. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman
yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun
latar budayanya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia
dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknya dikembangkan dimensi wawasan
kebhinnekaannya dalam kerangka penegasan karakteristik keikaan yang kuat.
Dalam
bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik
(Paul Pedersen, 1991). Banyak pengarang menulis tentang konseling lintas budaya
sering dari populasi minoritas mereka sendiri, untuk menyebut jalan pergerakan
dari suatu yang menegaskan landasan pengetahuan Eurosentrik, yang sebelumnya
melingkupi landasan pengetahuan pluralistik; akhirnya ditandai oleh pendekatan
holistik untuk membantu dan penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga
alih-alih pada individu, dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih
yang linear.
Suatu
masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya
secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya
secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan
budaya yang memberi artinya.
Para
ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan
universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang
menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan
kebutuhankebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang
berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula
konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan
titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik,
nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang
memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya
konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat
dipadukan sebagai berikut. Konseling
lintas budaya adalah pelbagai hubungan
konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompokkelompok
minoritas; atau hubungan konseling
yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang
dikarenakan variabel-variabel
lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten,
dan Sue, 1989:37).
Dedi
Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah
mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas
budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya
yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya
bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak
berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki
kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat
mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang
responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai
“perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
Maka konseling lintas budaya akan
dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu
bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat
mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku
dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien
berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi
jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam
atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal
dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya
tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda.
Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang
sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan
konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal
dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar
antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur
lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih
"halus".
Konselor perlu menyadari akan
nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku
bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai
pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini
merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai
rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut
Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen
yaitu:
- konselor dan klien berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar
belakang budaya (tempat) klien;
- konselor danklien berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar
belakang budaya (tempat) konselor; dan
- konselor dan klien berasal dari
latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang
berbeda pula.
Lebih
lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan
bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
- latar belakang budaya yang
dimiliki oleh konselor,
- latar belakang budaya yang
diimiliki oleh klien,
- asumsi-asumsi terhadap masalah
yang akan dihadapi selama konseling, dan
- nilai-nilai yang mempengaruhi
hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar
belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
- Nah, dari uraian diatas, ada
beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
- Memahami nilai nilai pribadi
serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia
berbeda.
- Sadar bahwa tidak ada teori
yang netral secara politik don moral
- Memahami bahwa kekuatan
susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam
kelompok
- Dapat berbagi pandangannya
tentang dunia klien dan tidak tertutup
- Jujur dalam konseling eklektik,
mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan
pengalaman dan gaya hidup mereka.
Sedikitnya
ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan
universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik
(kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari
populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga,
pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan
sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling
in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter
atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan
dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and
Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun
menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural”
yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh
literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan
teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan
budaya dominan. Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen
berikut:
1. Sensitivitas
konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling
yang digunakannya.
2. Pemahaman
konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3. Kemampuan
dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang
merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4. Kemampuan
konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi
yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
1. Semua
kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
konseling;
2. Kebanyakan
budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3. Kelas
dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
Palmer
and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya,
yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical
model.
1)
Model
Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer
and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan
individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur
menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme.
Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan
model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)
korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi
ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli
tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti
keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor
tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya
tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Oleh
sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama
model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah
menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini
penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat
penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga
terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
2)
Model
Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan
uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani,
2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam
konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
1) Reaksi
terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2) Pengaruh
budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3) Pengaruh
budaya tradisional (influence of traditional culture).
4) Pengalaman
dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and
endowments).
Menurut
Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk
memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi
kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective
uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang diturunkan
dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak
pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu
dari berbagai varibel di atas.
3) Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model
etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam
perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat
konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog
terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini
menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model
dimensional sebagai kerangka pikirnya.
1) Konsepsi
sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apa bila :
a)
Melakukan penyimpangan norma-norma
budaya
b) Melanggar
batas-batas keyakinan agama dan berdosa
c) Melakukan
pelanggaran hukum
d)
Mengalami masalah interpersonal
2)
Causal/healing beliefs
a)
Menjelaskan model healing yang dilakukan
dalam konseling
b) Mengembangkan
pendekatan yang cocok dengan keyakinan
c) konseli
d) Menjadikan
keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
e) Menunjukkan
bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu
f)
berbagi (share) tentang keyakinan yang
sama
3) Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang
sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya.
Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan
aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
a)
Mampu menentukan sehat dan sakit
b) Memahami
permasalahan sesuai dengan konteks
c) Mampu
memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
d)
Menyadari dan memahami budayanya sendiri
4) Body
function beliefs
a)
Perspektif budaya berkembang dalam
kerangka pikir pebih bermakna
b) Sosial
dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari
c)
Muncul intrapsikis yang efektif pada
diri konseli
5) Health
practice efficacy beliefs
Ini merupakan
implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang
sehat dari konseli.
REFERENSI
Depdiknas.
2004. Waawasan Kependidikan. Edisi
ke-2.
Prayitno.
2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Prayitno
& Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Jalaluddin
dan Abdullah Idi. 2009. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Matsumoto,
D. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana,
D., & J. Rakhmat. 2006. Komunikasi
Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.
Supriadi, D. (2001).
Konseling Lintas-Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. (Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriatna,
M. 2009. Materi PLPG Sertifikasi Guru
tahun 2009.