Rabu, 01 Agustus 2012


PERBEDAAN DAN PERSAMAAN MANUSIA SECARA BUDAYA
Oleh
JERIZAL PETRUS

A.    Pendahuluan
Menarik sekali ketika berbicara tentang manusia. Menarik karena manusia memiliki keunikan tersendiri, yaitu karena manusia sendirilah yang akan menjadi subjek sekaligus objek. Di lain pihak berbicara tentang manusia adalah sesuatu yang sangat kompleks untuk diteliti dan dipelajari. Oleh karena itu, Jalaluddin dan Abdullah (2009: 131) menjelaskan bahwa dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkatan pemikiran itu selalu mempunyai perbedaan. Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subjek pendidikan, manusia juga adalah objek pendidikan itu sendiri. 
Keragaman masyarakat dan budaya Indonesia merupakan sebuah potensi kekayaan yang harus dioptimalkan sehingga terasa manfaatnya. Dalam konteks itu pula manusia dalam budaya dianggap berbeda atau lebih dengan identitas kelompoknya sering kali menjadi sarana kecurigaan yang sosok yang harus diwaspadai, dan bahkan tiidak jarang semangat itu memuncak dalam bentuk konsflik seperti dalam kasus penduduk lokal dengan mereka yang dipersiapkan sebagai pendatang. Secara umum dan alamiah, suku-suku bangsa khususnya di Indonesia memiliki batas-batas daerah kebudayaan yang tegas dengan berpatokan pada alam seperti dibatasi oleh sungai, gunung, dan hutan.  Manusia dalam budaya perbatasan merupakan masyarakat yang secara administratif tinggal dan bersinggungan antara satu atau lebih daerah lain. Dalam kajian antropologi, masyarakat perbatasan dapat diartikan sebagai masyarakat yang tinggal dan bersinggungan secara budaya di antara dua atau lebih daerah dengan kebudayaan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara budaya yang berbeda. Dalam situasi seperti itulah konseling lintas budaya memainkan peran penting untuk memfasilitasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam seting konseling. 
Dalam konseling salah satu isu yang tak kalah pentingnya dibicarakan adalah isu tentang konseling lintas budaya. Hal ini penting dibicarakan karena dalam setiap proses konseling disadari bahwa disitu telah terjadi perjumpaan antara budaya (cultural encounter) antara konselor dan klien. Dalam pada itu, konselor diharapkan memiliki kepekaan budaya, sehingga tidak terjadi bias-bias budaya dalam konseling. Oleh karena itu konselor harus memiliki kemampuan komunikasi responsif secara kultural. Dalam kerangka itu, maka konselor yang profesional adalah konselor yang tidak pernah ketinggal dan selalu meng—update akan isu-isu yang berkaitan dengan perkembangan budaya yang ada di Indonesia.
            Pemahaman akan karakteristik manusia dan budayanya masig-masing merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang harus dipahami secara komprehensif oleh konselor dalam memberikan layanan konseling. Berkenaan dengan hal tersebut maka makalah ini akan menyajikan penjelasan-penjelasan yang singkat dan sederhana mengenai perbedaan dan persamaan manusia dalam budaya serta implikasinya dalam konseling.

B.     Hakekat Manusia
Manusia dalam dunia ini memegang peranan yang unik, dan dapat dipandang dari banyak segi. Sebelum lebih jauh melihat perbedaan dan persamaan manusia secara budaya terlebih dahulu kita memeriksa beberapa pandangan para ahli mengenai hakekat manusia. Prayitno (2009: 10-12), secara sistematis mengemukakan beberapa pandangan tentang manusia dengan merujuk dari pandangan-pandangan para ahli berikut mulai dari pandangan yang pali lama sampai pada pandangan yang paling baru:
1.      Plato. Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
2.      Hsun Tsu. Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk mengembangkannnya sdiperlukan latihan dan disiplin yang keras, terutama disiplin kepada tubuhnya.
3.      Agustinus. Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimlotivasi oleh prinsip kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
4.      Descrates. Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersifat bendawi, abadi dan tidak dapat mati, sedangkan badan bersifat bendawi dapat sirna dan menjadi sasaran filsafat fisika. Di antara bandan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani; badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal sendiri-sendiri. Namun demikian, manusia adalah jiwanya.
Sedangkan pandangan yang lebih baru tentang manusia, antara lain dikemukakan oleh pemikir-pemikir sebagai berikut:
1.      Freud. Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan insting-instiinya, dan dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh factor-faktor interpersonal dan intrapsikis.
2.      Adler. Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan-dorongan dirinya, tetapi juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab social dan pemenuhan kebutuhan dalam mencapai segala sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
3.      Rogers. Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat menentuka nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi individuyang positif dan konstruktif.
4.      Skinner. Manusia adalah makhluk rektif yang tingkah lakunya dikontrol oleh factor-faktor di luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui huum-hukum belajar.
5.      Glasser. Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (baik psikologikal maupun fisiiologikal), yang sama untuk semua orang. Kebutuhan fisologikal adalah segala sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organism, sedangkan kebutuhan psikologgikal terarah untuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
6.      Ellis. Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasional ataupun tidak rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan satu sama lain: pikiran seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya
7.      Sartre. Manusia dipandang sebagai no yang me-nol-kan diri, pour soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melinkan subjek, dan secara kodrati dirinya itu adalah bebas. 
Terkait dengan manusia seutuhnya, Prayitno dan Erman Amti (2004: 21) dengan merujuk dari para pemikir Barat, khusunya dalam bidang psiko-humanistik, seperti Frankl, Jung, Maslow dan Rogers telah pula mengajukan berbagai rumusan sejalan dengan konsep manusia seutuhnya. Mereka memakai istilah (berfungsi unsur-unsur kemanusiaan secar ideal) sebagai perwujudan manusia seutuhnya. Ciri-ciri yang dapat berfungsi secara ideal itu adalah:
Menurut Frankl:
1.      Mencapai penghayatan yang penuh tentang makna hidup dan kehidupan
2.      Bebas memilih dan bertindak
3.      Bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala tindakan
4.      Melibatkan diri dalam kehidupan bersama orang lain
Menurut Jung:                                         
1.      Memiliki pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri
2.      Menerima diri sendiri, termasuk kekuatan dan kelemahannya
3.      Menerima dan bersikap toleran terhadap hakikat dan keberadaan kemanusiaan secara umum
4.      Menerima hal-hal yang masih belum dapat diketahui atau misterius, serta bersedia mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tidak rasional tanpa meninggalkan cara-cara berpikir logis.
Menurut Maslow:
Manusia yang berfungsi secara ideal ialah mereka yang mengembangkan seluruh kemsmpuan dan potensinya. Lebih jauh, Maslow menyebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah berhasil mewujudkan diri sendiri secara penuh. 
Dari pandangan-pandanagn terhadap manusia seperti yang telah dijelaskan di atas, secara sederhana hakikat manusia  dapat dijelaskan sebagai berikut (Depdiknas. 2004: 9-11);
1.      Manusia sebagai makhluk individu, bahwa mansuia sebagai makhluk individu yang mempunyai ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Oleh karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk yang unik.
2.      Manusia sebagai makhluk social, bahwa manusia sebagai makhluk social mempunyai sifat sosialoitas yang menjadi dasar dan tujuan dari kehidupan manusia yang sewajarnya.
3.      Manusia sebagai makhluk psikofisik, bahwa manusia merupakan totalitas jasmani dan rohani. Setiap bagian tubuh dan kegiatan prganisme yang biologis sifatnya pasti mengabdikan diri kepada aktivitas psikis, juga sebaliknya.
4.      Manusia sebagai makhluk monodualis, bahwa manusia sebagai makhluk monodualis tidak dapat memisahkan antara jiwa dan raga sebagai satu kesatuan dalam perkembangannya.
5.      Manusia sebagai makhluk bermoral, bahwa manusia yang normal pada intinya mengambil keputusan susila dan mampu membedakan hal-hal yang baik dan buruk. Selain itu juga mampu membedakan hal yang benar dan yang salah untuk kemudian mengarahkan hidupnya ke tujuan-tujuan yang berarti sesuai dengan pilihan dan keputusan hati nurani dalam mempertimbangkan baik/buruk dan salah/benar.
6.      Manusia sebagai makhluk religious, bahwa manusia sebagai makhluk religious mengndung kemungkinan baik dan jahat, sesuai dengan pandangan manusia itu sendiri sebagai makhluk Tuhan. Manusia mempunyai nafsu-nafsu baik maupun jahat.   
7.      Manusia sebagai makhluk berpikir/filosofis, bahwa manusia itu mempunyai akal dan budi. Akal digunakan untuk berpikir agar menjadi berbudi.
8.      Manusia sebagai makhluk berketerampilan, bahwa manusia sudah mempunyai bakat dan minat masing-masing dalam mengembangkan keterampilannya.

C.    Pengertian Budaya
            Meskipun kebanyakan dari kita merasa tahu artinya, namun budaya adalah sebuah konsep yang cukup sulit didefinisikan secara formal. Para peneliti seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, Geert Hofstede dan yang lainnya telah menawarkan beberapa definisi yang menarik tentang budaya. Untuk keperluan kita, kami mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain (Matsumoto, 2008: 5).
Menurut Kneller dalam Rosijdan (2005) menjelaskan bahwa kata budaya sendiri bermakna semua cara-cara hidup yang dilakukan orang dalam suatu masyarakat. Dalam budaya tertentu dimaksudkan keseluruhan cara hidup bersama dari sekelompok orang, yang meliputi bentuk mereka berpikir, berbuat dan merasakan yang diekspresikan, misalnya dalam kepercayaan, hukum, bahasa, seni, adat istiadat, juga dalam bentuk produk-produk benda seperti rumah, pakaian, dan alat-alat. Definisi yang di sampaikan itu sejalan dengan apa yang diartikan dalam kamus besar basaha Indonesia bahwa kata budaya menunjuk pada pikiran; akal budi; hasil; adat istiadat; dan bahasa.
Pengertian budaya yang dijelaskan di atas senada dengan apa yang disamapaikan oleh Mulyana (2006:18) bahwa budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar  berpikir , merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu di dasarkan pada pola-pola budaya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan, dan sebagainya. Budaya menampakan dirinya dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model-model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu dan pada  suatu saat tertentu. Selain itu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Budaya juga berkenaan dengan bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi kehidupan kita. Oleh karena itu, budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati—dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Dari penjelasan-penjelasan tentang budaya di atas maka , dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya  terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Definisi budaya dalam pandangan ahli antropologi sangat berbeda dengan pandangan ahli berbagai ilmu sosial lain. Ahli-ahli antropologi merumuskan definisi budaya sebagai berikut:
E.B. Taylor berpendapat bahwa budaya adalah: Suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Linton mengartikan budaya dengan: Keseluruhan dari pengetahuan, sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh anggota suatu masyarakat tertentu.
Adapun Kluckhohn dan Kelly berpendapat bahwa budaya adalah: Semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai pedoman yang potensial untuk perilaku manusia
Lain halnya dengan Koentjaraningrat yang mengatikan budaya dengan: Keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Berdasarkan definisi para ahli tersebut dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar. Dari kerangka tersebut diatas tampak jelas benang merah yang menghubungkan antara pendidikan dan kebudayaan. Dimana budaya lahir melalui proses belajar yang merupakan kegiatan inti dalam dunia pendidikan.
Selain itu terdapat tiga wujud kebudayaan yaitu : 1) wujud pikiran, gagasan, ide-ide, norma-norma, peraturan,dan sebagainya. Wujud pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup; 2) aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret; dan 3) wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat.

D.    Manusia sebagai makhluk berbudaya
Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi), horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan. Tatkala seoang bayi lahir, ia merasakan perbedaan suhu dan kehilangan energi, dan oleh kaena itu ia menangis, menuntut agar perbedaan itu berkurang dan kehilangan itu tergantikan. Dari sana timbul anggapan dasar bahwa setiap manusia dianugerahi kepekaan (sense) untuk membedakan (sense of discrimination) dan keinginan untuk hidup. Untuk dapat hidup, ia membutuhkan sesuatu. Alat untuk memenuhi kebutuhan itu bersumber dari lingkungan.
Oleh karena itu lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap manusia itu sendiri, hal ini dapat dilihat pada gambar siklus hubungan manusia dengan lingkungan sebagai berikut:
Siklus Hubungan Manusia
Berdasarkan definisi para ahli tentang budaya sebagaimana tersebutkan sebelumnya dan gambaran tentang manusia di atas, maka  dapat dinyatakan bahwa unsur belajar merupakan hal terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Dengan demikian manusia itu dibentuk dalam budaya dan lingkungannya masing-masing. Untuk menjadi manusia yang berbudaya, harus memiliki ilmu pengetahuan, tekhnologi, budaya dan industrialisasi serta akhlak yang tinggi (tata nilai budaya) sebagai suatu kesinambungan yang saling bersinergi, sebagaimana dilukiskan dalam bagan berikut:
http://ridwan202.files.wordpress.com/2008/10/snag-009.jpg?w=405&h=390
E.     Perbedaan dan Persamaan Manusia secara Budaya
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecah-belah secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan, bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang melingkup pendidikan bagi orang biasa maupun profesional dalam bidang lintas serta keragaman budaya. Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia abad-21.
Dalam konseling lintas budaya sebagian pihak menganggap bahwa tidak penting, alasannya bahwa yang lebih penting adalah situasi konseling. Dengan demikian dalam memasuki situasi konseling, yang menjadi perhatian utama adalah individu, bukan budanya; dan oleh karena itu konselor tidak berurusan dengan budaya klien, tidak juga budaya konselor, melainkan dengan individu klien. Hal ini disebabkan karena mereka terlalu percaya pada universalitas dan generalisasi teori-teori dan prinsip-prinsip konseling yang dapat melintasi batas-batas kultur. Pandangan itu tidak terlalu diterima karena mengabaikan kuatnya faktor-faktor budaya yang membentuk perilaku klien. Pandangan ini sangat berbahaya bagi proses konseling, karena akan melahirkan konselor yang tidak peka-budaya (culturally insentive counselor), tidak empatik, dan sangat mungkin untuk memaksakan nilai-nilai budaya sendiri kepada klien yang dilayaninya. Pandangan ini terlalu menekankan segi etic dalam konseling dan mengabaikan amic.
            Namun perlu diingat bahwa pada sisi lain ada yang terlalu percaya pada keunikan klien dan budayanya yang berbeda satu sama lain, sehingga mengabaikan adanya kesamaan (commonalities) di antara klien. Mereka terlalu menempatkan terlalu menempatkan keunikan budaya sebagai titik tolak dan lupa bahwa dalam hal-hal tetrtentu sebagai manusia, ada pola-pola perilaku yang share oleh setiap individu dan memiliki “high degree of cross-cultural constancy”, yakni tingkat ketetapan yang tinggi pada konteks sosial budaya yang berbeda. Pandangan ini pun mengnadung kelemahan, karena terlalu menekankan segi emic dan mengabaikan segi etic dalam konseling.
            Konseling lintas-budaya yang sesungguhnya dan perlu mendasari kerja konselor bergerak di antara titik-titik ekstrem berikut: antara perspektif etic dan emic, antara prinsip-prinsip yang berlaku secara universal untuk semua manusia (humanly universal) dengan yang unik budaya (culturally unique), antara tuntunan untuk penyesuaian secara autoplastik dengan alloplastik. Titik-titik ini tidak bersifat saling mengecualikan (mutually exclusive), melainkan merupakan kontinum. Dalam situasi tertentu klien dari latar belakang budaya tertentu, mungkin keunikan budaya sangat menonjol; sedangkan pada yang lain sebaliknya. Pada saat konselor menghadapi klien dari satu kelompok minoritas yang hidup di tengah kelompok mayoritas, maka penyesuaian autoplatik yang ditekankan; sedangkan bila ia berada dalam komunitasnya sendiri dan mempunyai peran-peran sosial tertentu, maka penyesuian alloplastik yang didorong. Intinya adalah perlunya keseimbangan dengan memperhatikan konteksnya.
            Keseimbangan perspektif tersebut pada akhirnya akan bermuara pada prinsip dasar tentang adanya kesamaan dan perbedaan antar-individu sebagaimana dengan indah dilukiskan oleh dua antropolog, Kluckohn dan Murray, sebagai berikut; every person in different ways is; like all other persons, like some other persons, like no other persons.
            Pengertian like all other menunjuk pada apa yang berlaku untuk semua manusia secara universal; misalnya dorongan untuk aktualisasi diri. Like some other adalah apa yang dimiliki oleh sebagaian manusia atau budaya dan tidak dimiliki oleh yang lain; misalnya keyakinan yang di share oleh komunitas tertentu. Like no other adalah ciri-ciri yang sangat unik pada setiap individu—ekstremnya, tidak ada dua individu yang sepenuhnya sama dalam segala hal, bahkan kembar identik sekalipun.
Dari sudut pandang antropolis, kesamaan dan perbedaan sama pentingnya bagi kehidupan manusia. Tanpa ada kesamaan, tidak mungkin ada keteraturan dalam kehidupan manusia. Kesamaan itu sendiri merupakan keniscayaan. To be a species suggets that there are taits that we all share.

F.     Implikasi dalam Konseling Lintas Budaya
Dalam pengembangan konsep utuh bimbingan di Indonesia, perlu diperhatikan komponen-komponen perbedaan budaya. Apalagi Indonesia dikenal dengan keragaman yang kompleks baik segi demografis, sosial-ekonomis, adat-istiadat, maupun latar budayanya. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia dalam perspektif konseling lintas budaya, layaknya dikembangkan dimensi wawasan kebhinnekaannya dalam kerangka penegasan karakteristik keikaan yang kuat.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Banyak pengarang menulis tentang konseling lintas budaya sering dari populasi minoritas mereka sendiri, untuk menyebut jalan pergerakan dari suatu yang menegaskan landasan pengetahuan Eurosentrik, yang sebelumnya melingkupi landasan pengetahuan pluralistik; akhirnya ditandai oleh pendekatan holistik untuk membantu dan penyembuhan, terfokuskan pada kelompok dan keluarga alih-alih pada individu, dan menggunakan sudut pandang yang integral alih-alih yang linear.
Suatu masalah yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan budaya yang memberi artinya.
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhankebutuhan konseling khusus mereka. Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta yang berbeda etnik atau kelompokkelompok minoritas; atau hubungan konseling yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabel-variabel lain seperti seks, orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan Sue, 1989:37).
Dedi Supriadi (2001:6) mengajukan alternatif untuk keefektifan konseling, setelah mengemukakan definisi konseling lintas budaya. Bagi Dedi, konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secara kultural. Dengan demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
  1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
  2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) konselor; dan
  3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah:
  1. latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
  2. latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
  3. asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
  4. nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
  5. Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
  6. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
  7. Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
  8. Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok
  9. Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
  10. Jujur dalam konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususanbudaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan. Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut:
1.      Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan konseling yang digunakannya.
2.      Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3.      Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4.      Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.
Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:
1.      Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan konseling;
2.      Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3.      Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome konseling.
Palmer and Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1) culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1)      Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
Pengajuan model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework) korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri. Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka.
Oleh sebab itu pada model ini budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model ini adalah pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.
2)      Model Integratif (Integrative Model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika, Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
1)      Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
2)      Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
3)      Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
4)      Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilainilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di atas.
3)      Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)
Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan alat konseling transkultural yang berorientasi pada paradigma memfasilitasi dialog terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
1) Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apa bila :
a)      Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
b)      Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
c)      Melakukan pelanggaran hukum
d)     Mengalami masalah interpersonal
2) Causal/healing beliefs
a)      Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
b)      Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan
c)      konseli
d)     Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
e)      Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu
f)       berbagi (share) tentang keyakinan yang sama
3) Kriteria sehat (wellbeing criteria)
Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
a)      Mampu menentukan sehat dan sakit
b)      Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
c)      Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
d)     Menyadari dan memahami budayanya sendiri
4) Body function beliefs
a)      Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir pebih bermakna
b)      Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupan sehari-hari
c)      Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli
5) Health practice efficacy beliefs
Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah dengan pengarahan atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.


REFERENSI

Depdiknas. 2004. Waawasan Kependidikan. Edisi ke-2.
Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: Grasindo
Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2009. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Matsumoto, D. 2008.  Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mulyana, D., & J. Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan  Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Rosdakarya.
Supriadi, D. (2001). Konseling Lintas-Budaya: Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia. (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Supriatna, M. 2009. Materi PLPG Sertifikasi Guru tahun 2009.